Zakat dan Wakaf Alternatif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Di tengah dinamika ekonomi Indonesia yang penuh tantangan, dari tingginya angka pengangguran hingga ketimpangan distribusi kesejahteraan, dua instrumen keuangan Islam yang kerap dilupakan sesungguhnya menyimpan potensi luar biasa: zakat dan wakaf.

Selama ini, zakat sering dipersepsikan sebatas kewajiban tahunan umat Islam yang disalurkan kepada mustahik. Wakaf pun kerap dipahami hanya dalam bentuk tanah untuk masjid atau makam. Padahal, dalam konteks pembangunan ekonomi lokal, keduanya bisa menjadi instrumen strategis untuk menciptakan kemandirian masyarakat.

Sebuah riset terbaru mengkaji peran zakat dan wakaf dalam pembangunan ekonomi berbasis komunitas. Dengan pendekatan studi kasus, penelitian ini menggali praktik pengelolaan zakat dan wakaf di berbagai daerah melalui wawancara, observasi lapangan, hingga telaah dokumen. Hasilnya cukup menggugah: zakat dan wakaf tak hanya berdimensi spiritual, tetapi juga sosial-ekonomi.

Zakat, jika dikelola dengan tepat, dapat menopang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Modal usaha dari dana zakat produktif misalnya, mampu membuka lapangan kerja baru dan mengurangi angka kemiskinan. Wakaf, di sisi lain, bisa menjadi aset abadi yang mendukung pembangunan fasilitas pendidikan, layanan kesehatan, bahkan program pertanian modern di desa-desa.

Contoh konkret dapat kita lihat pada program BAZNAS Ternak, yang mengembangkan pemberdayaan peternak mustahik di berbagai daerah. Dengan pendampingan dan modal usaha dari dana zakat, para peternak tidak hanya bisa meningkatkan produksi, tetapi juga memperluas jaringan pemasaran. Begitu pula Dompet Dhuafa yang menggagas Kampung Ternak Nusantara, terbukti mampu mengangkat taraf hidup warga desa melalui pengelolaan zakat produktif.

Di ranah wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersama berbagai lembaga filantropi telah meluncurkan skema wakaf produktif. Salah satunya adalah pembangunan rumah sakit dan sekolah berbasis wakaf yang kini tersebar di beberapa kota besar. Bahkan, ada pula inovasi wakaf saham dan wakaf uang yang memungkinkan partisipasi lebih luas dari masyarakat urban.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak persoalan yang harus dibenahi. Pertama, distribusi dana zakat masih sering terpusat di kota besar, sementara kantong-kantong kemiskinan di pelosok desa belum banyak tersentuh. Kedua, laporan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana zakat dan wakaf masih belum merata; masyarakat kerap kesulitan mengakses data penggunaan dana. Ketiga, banyak lembaga pengelola yang terjebak pada pola lama: zakat dibagikan habis untuk konsumsi, bukan dikelola untuk produktivitas jangka panjang.

Padahal, bila melihat potensi umat, dana zakat di Indonesia setiap tahun diperkirakan mencapai lebih dari Rp 300 triliun, sementara wakaf tunai dan aset wakaf memiliki nilai jauh lebih besar. Sayangnya, realisasi penghimpunan baru menyentuh sebagian kecil dari angka tersebut. Artinya, potensi luar biasa itu belum tergarap maksimal.

Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk menjadikan zakat dan wakaf benar-benar berdaya, ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:

  1. Digitalisasi pengelolaan zakat dan wakaf. Pemanfaatan aplikasi dan teknologi blockchain dapat memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan memudahkan masyarakat menyalurkan dana.
  2. Penguatan regulasi wakaf produktif. Pemerintah perlu memberi payung hukum yang lebih jelas, agar aset wakaf dapat dikelola secara profesional tanpa kehilangan nilai religiusnya.
  3. Sinergi pemerintah–ormas–kampus. Kolaborasi ini penting untuk mencetak SDM pengelola zakat dan wakaf yang profesional, berbasis riset, dan peka terhadap kebutuhan lokal.
  4. Distribusi berbasis wilayah miskin. Lembaga zakat dan wakaf harus berani memperluas jangkauan ke daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), bukan hanya di perkotaan.
  5. Edukasi literasi umat. Masyarakat perlu diedukasi bahwa zakat dan wakaf tidak hanya konsumtif, melainkan bisa menjadi investasi sosial yang berkelanjutan.

Momentum ini sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Pemerintah tengah menggaungkan transformasi ekonomi hijau dan ekonomi digital, namun di sisi lain masih kesulitan menjawab problem kesenjangan. Zakat dan wakaf bisa menjadi jembatan, memadukan semangat religius umat dengan kebutuhan praktis pembangunan.

Kini saatnya kita memandang zakat dan wakaf bukan hanya sebagai kewajiban atau tradisi, melainkan sebagai instrumen strategis menuju kemandirian ekonomi rakyat. Jika dikelola dengan serius, zakat dan wakaf bisa menjadi “mesin” alternatif pembangunan yang berbasis kearifan lokal sekaligus memperkuat fondasi keadilan sosial di negeri ini.

Penulis:
Januariansyah Arfaizar
Dosen STAI Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *