Merdeka, Tapi untuk Siapa?

Apakah Indonesia sudah benar-benar merdeka?
Menurut saya, belum sepenuhnya. Rasa merdeka itu mungkin hanya dirasakan oleh mereka yang punya jabatan dan kondisi finansial lebih dari cukup. Sementara, bagi rakyat kecil yang penghasilannya pas-pasan, bahkan harus berutang demi bisa bertahan hidup dari bulan ke bulan atau hari ke hari, kemerdekaan masih terasa jauh.

Kalau kita melihat ke belakang, misalnya pada masa Benteng Vredeburg yang dibangun atas perintah Belanda, itu menjadi simbol bagaimana Belanda berusaha mengendalikan kerajaan Mataram. Dengan keberadaan benteng itu, Belanda bisa lebih cepat dan mudah memengaruhi kebijakan raja, bahkan sampai ikut menentukan keputusan kerajaan.

Itu terjadi pada abad ke-18 dan 19, masa penjajahan yang nyata. Semua demi uang dan keuntungan. Rempah-rempah serta kekayaan alam Nusantara diangkut ke negeri Belanda, dikelola oleh perusahaan raksasa saat itu: VOC, semacam BUMN-nya Belanda di Indonesia.

Sekarang, Indonesia sudah lebih dari 79 tahun merdeka. Bahkan bisa dibilang belum genap 80 tahun, sebab Belanda masih sempat kembali merebut Indonesia pada 1946–1950. Lalu, pertanyaannya: apakah rakyat Indonesia benar-benar sudah merdeka?

Apa arti merdeka itu sebenarnya?
Dulu, rakyat di masa VOC banyak yang kesulitan makan. Fotonya ada, tubuh mereka kurus-kurus. Tahun 2025 ini, apakah rakyat sudah lebih mudah mendapatkan makanan? Apakah tubuh rakyat Indonesia sudah sehat, makmur, dan terjamin?

Dulu, pajak rakyat dipungut untuk kerajaan dan Belanda. Sekarang, pajak justru semakin banyak. Hampir semua hal yang menghasilkan uang dipajaki oleh negara. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, beralasan bahwa utang negara yang pada 2014 sekitar Rp4.000 triliun melonjak menjadi Rp8.000 triliun pada 2024. Belum sampai Rp10.000 triliun sih, tapi akibatnya rakyat semakin terbebani. Tahun 2025 ini, banyak kabupaten dan kota menaikkan pajak hingga lebih dari 100 persen, alasannya untuk menutup kas daerah yang seret karena dana dari pusat makin berkurang.

Di sisi lain, ekonomi tak stabil, pendidikan gonta-ganti kurikulum, politik dijalankan berdasarkan kepentingan partai, bukan rakyat. Hukum pun sering tajam ke bawah, tumpul ke atas. Orang miskin bisa dipenjara lebih lama, sementara orang kaya bisa bebas dengan mudah. Bahkan, ada yang tidak bersalah malah divonis, sedangkan yang bersalah justru bebas. HAM seakan hanya slogan. Undang-undang yang seharusnya melindungi rakyat, terkadang malah jadi alat yang mencelakakan mereka yang tidak tahu apa-apa.

Sementara itu, rakyat dipaksa terus membayar pajak. Semakin rajin rakyat bayar pajak, semakin senang pejabat, DPR, DPD, MPR, hingga berbagai dinas menikmati uang hasil pajak tersebut. Kalau kurang, Kementerian Keuangan akan menutupinya dengan menjual atau melelang surat utang negara. Singkatnya, kalau negara saja menutup kekurangan dengan berutang, rakyat kecil pun akhirnya menutup kekurangan dengan berutang di warung: hutang beras, hutang rokok, hutang kopi.

Jadi, apakah kita sudah merdeka?
Sepertinya, kemerdekaan hanya dirasakan pejabat dan elit politik. Partai politik pun lebih sering mencari keuntungan saat pemilu. Setelah menang, mereka lupa janji kampanye. Mengunjungi rakyat saja sudah jarang, lewat pun tak menoleh, apalagi kalau sudah dikawal dengan pengawalan ketat.

Merdeka, ternyata, belum sepenuhnya milik rakyat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *