Merdeka dengan Beretika: Menjadi Anak dan Pemuda yang Membanggakan
Kemerdekaan bukan hanya dimaknai sebagai kebebasan dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan dari belenggu sifat-sifat buruk yang merusak diri sendiri maupun orang lain. Kemerdekaan yang sejati adalah saat kita mampu melepaskan diri dari rasa malas, sikap egois, dan perilaku yang menyakiti sesama. Setiap kali bulan Agustus tiba, kita tidak hanya diajak mengenang jasa para pahlawan yang telah berkorban, melainkan juga diingatkan untuk menjadi pribadi yang beretika, berakhlak mulia, dan memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian, kemerdekaan yang diwariskan bukan hanya tinggal cerita sejarah, tetapi juga hadir dalam bentuk perilaku positif generasi penerus.
Sejarah mencatat tanggal 17 Agustus 1945 sebagai tonggak penting lahirnya bangsa Indonesia yang merdeka. Proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta bukan sekadar pernyataan politik, melainkan simbol dari pengorbanan darah, nyawa, dan harta benda para pejuang yang gigih memperjuangkan kebebasan. Yang menarik, sebagian besar dari mereka adalah anak muda. Hal ini menunjukkan bahwa sejak dulu generasi muda selalu menjadi motor perubahan dan garda terdepan dalam menjaga martabat bangsa. Karena itu, sebagai anak-anak dan pemuda masa kini, tidak ada alasan untuk minder atau merasa kecil. Meski tinggal di pedesaan atau jauh dari pusat kota, semangat juang kita harus setinggi para pejuang yang dahulu bertempur di medan perang.
Kemerdekaan bagi generasi muda sesungguhnya bukan berarti bebas berbuat sesuka hati. Merdeka tidak berarti leluasa melanggar aturan, merusak pergaulan, atau membiarkan diri terjerumus dalam kemalasan. Sebaliknya, kemerdekaan sejati adalah kebebasan dari kebodohan, kemiskinan, kemalasan, dan segala hal yang dapat merusak masa depan. Anak-anak dan remaja dituntut untuk mengisi kemerdekaan dengan belajar giat, berprestasi, berkarya, serta menjaga nama baik keluarga dan lingkungan. Tanpa etika, kebebasan justru akan berujung pada kehancuran, perpecahan, dan saling merendahkan. Oleh karena itu, akhlak dan etika menjadi landasan utama dalam menikmati kemerdekaan.
Alquran juga menegaskan makna kemuliaan ini. Dalam QS. Al-Hujurāt ayat 13, Allah Swt menyatakan bahwa kemuliaan seseorang bukan diukur dari harta atau kedudukan, melainkan dari ketakwaannya. Ketakwaan ini mencakup sikap sopan santun, etika, serta akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, anak-anak dan pemuda yang beretika sejatinya sedang memuliakan diri mereka sendiri dan sekaligus menghidupkan makna kemerdekaan yang hakiki.
Rasulullah Saw memberikan teladan yang jelas tentang pentingnya etika. Dalam sebuah hadis beliau bersabda: “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda, dan tidak menghormati yang lebih tua.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi). Hadis ini mengajarkan bahwa etika adalah fondasi kehidupan. Dalam lingkup keluarga, seorang anak hendaknya menghormati orang tua, membantu tanpa diminta, serta berbicara dengan santun. Bersama teman sebaya, etika diwujudkan dengan menghindari ejekan, berani meminta maaf, serta tidak menyebarkan aib orang lain. Bahkan di media sosial, generasi muda dituntut berpikir sebelum memposting sesuatu. Media digital seharusnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, bukan untuk menghina, membully, atau menyebarkan kebencian. Sementara dalam masyarakat, etika hadir dalam bentuk kebiasaan sederhana seperti menyebarkan salam, menyapa tetangga, menjaga kebersihan, serta menghargai perbedaan.
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah Saw bersabda: “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya, kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” Hadis ini memperkuat pesan bahwa etika dan akhlak mulia adalah jalan menuju kerukunan dan cinta kasih. Dengan demikian, etika bukan sekadar aturan sosial, melainkan jalan menuju ridha Allah Swt.
Jika dulu para pejuang mengorbankan jiwa raga demi menjaga persatuan bangsa, maka anak-anak dan pemuda masa kini bisa menjaga kerukunan melalui sikap saling menghormati. Jika dahulu para pejuang bertempur di medan perang dengan mengorbankan segalanya, maka generasi muda sekarang dapat berjuang dengan cara berkorban waktu, tenaga, dan pikiran untuk kegiatan positif di dusun, sekolah, maupun masyarakat luas. Dengan etika, kita sebenarnya sedang mengibarkan bendera putih di dalam hati, simbol perdamaian, cinta, dan persaudaraan.
Akhirnya, kemerdekaan tidak diukur dari lantangnya teriakan “Merdeka!”, melainkan dari akhlak, tindakan nyata, serta kontribusi positif yang kita berikan. Generasi muda akan menjadi kebanggaan bangsa dan keluarga apabila mampu menjaga etika dalam setiap aspek kehidupan. Seperti sebuah pesan yang patut direnungkan: “Merdeka itu bukan berarti kita boleh berbuat sesuka hati, tapi kita bebas untuk berbuat baik tanpa ada yang menghalangi.”
Note: Materi tulisan ini sebagian telah disampaikan dalam acara Malam Tirakatan 16 Agustus 2025, di Sampakan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, DIY. sebagai pengingat bahwa kemerdekaan sejati tidak berhenti pada perayaan, melainkan terus hidup dalam perilaku generasi muda yang berakhlak mulia dan membanggakan bangsa.