Maulid Nabi: Antara Tradisi, Syukur, dan Cinta kepada Rasulullah
Setiap tahun, umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan ini tidak sekadar ritual, melainkan wujud rasa syukur, kegembiraan, dan cinta yang mendalam kepada sosok yang disebut Al-Quran sebagai rahmatan lil ‘alamin rahmat bagi seluruh alam.
Landasan pelaksanaan Maulid Nabi sebenarnya dapat ditelusuri pada Al-Quran dan hadis. Dalam surat Yunus ayat 58, Allah memerintahkan:
“Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan demikian mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Menurut penafsiran Ibnu Abbas RA, yang dimaksud dengan karunia Allah adalah ilmu, sedangkan rahmat Allah adalah Nabi Muhammad SAW. Penafsiran ini diperkuat oleh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, yang menyebut bahwa bergembira atas kehadiran Nabi adalah bentuk pengamalan dari ayat tersebut. Dengan demikian, merayakan Maulid dapat dipahami sebagai ekspresi syukur dan kegembiraan yang dianjurkan.
Selain itu, terdapat hadis riwayat Imam Muslim ketika Nabi ditanya tentang alasan beliau berpuasa setiap hari Senin. Rasulullah menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan.” Dari sini, kita melihat bahwa Nabi sendiri memperingati hari kelahirannya dengan bentuk ibadah, yakni puasa. Maka, tradisi perayaan Maulid yang berkembang di masyarakat bisa dimaknai sebagai penerusan semangat Nabi meski dalam bentuk yang lebih luas dan beragam.
Tentu tidak dapat dipungkiri, sebagian kalangan menilai Maulid sebagai bid’ah karena tidak pernah dilakukan pada masa sahabat. Namun, banyak ulama menegaskan bahwa bid’ah tidak selalu berarti tercela. Jika sebuah amalan membawa kebaikan, menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah, dan tidak bertentangan dengan syariat, maka ia dapat dikategorikan sebagai bid’ah hasanah inovasi yang baik.
Lebih jauh lagi, manfaat kegembiraan atas kelahiran Nabi dijelaskan dalam kitab Fathul Bari. Disebutkan bahwa Abu Lahab seorang yang sangat memusuhi Nabi mendapatkan keringanan siksa di neraka karena ia bergembira atas kelahiran Nabi, yang ditunjukkan dengan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah. Jika seorang Abu Lahab saja mendapat keringanan, apalagi umat Islam yang tulus merayakan Maulid dengan niat syukur dan cinta kepada Rasulullah?
Dari perspektif sosial, Maulid Nabi bukan hanya perayaan spiritual, tetapi juga momentum untuk memperkuat ukhuwah. Peringatan ini sering diisi dengan pembacaan shalawat, kajian sirah Nabi, dan doa bersama. Semua itu menghidupkan kembali keteladanan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus meneguhkan semangat persatuan di tengah masyarakat.
Karena itu, peringatan Maulid Nabi seharusnya dilihat bukan sebagai perdebatan semata, melainkan sebagai ruang ekspresi syukur dan cinta. Selama dilaksanakan dengan cara yang sesuai tuntunan, tanpa berlebihan dan tanpa hal-hal yang menyimpang, Maulid adalah manifestasi nyata dari firman Allah dalam QS. Yunus: 58 bergembira dengan rahmat Allah.
Maulid Nabi bukan sekadar seremonial tahunan. Namun, menjadi pengingat bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW adalah anugerah terbesar bagi umat manusia. Merayakannya berarti mempertegas komitmen kita untuk meneladani akhlak beliau, menumbuhkan cinta, serta menjadikan syariat dan risalah Nabi sebagai cahaya dalam kehidupan modern yang penuh tantangan.
Penulis: Januariansyah Arfaizar
Dosen STAI Yogyakarta – Ketua IKN Yogyakarta