Keyakinan Halal: Antara Bukti, Sertifikat, dan Rasa Percaya
Di tengah semakin kompleksnya kehidupan modern, isu halal tidak lagi sekadar urusan dapur rumah tangga atau kebiasaan turun-temurun. Kini, halal telah menjelma menjadi isu global yang melibatkan industri besar, perdagangan internasional, politik identitas, bahkan persaingan ekonomi antarnegara. Label halal bukan hanya menentukan pilihan konsumsi, melainkan juga menentukan arah kepercayaan masyarakat terhadap sebuah produk.
Namun, di balik itu semua, muncul pertanyaan mendasar: dari mana sebenarnya keyakinan kita bahwa suatu produk benar-benar halal? Apakah cukup dengan percaya begitu saja pada produsen? Ataukah harus ada bukti nyata berupa sertifikat halal resmi?
Percakapan singkat dalam forum Diklat SDM Syariah, yang diselenggarakan oleh Duta Halal Institute yang saya ikuti (Kamis, 28-08-2025), menghadirkan pandangan yang cukup tajam dari seorang narasumber, Ali Fauzan. Ia menekankan pentingnya bukti sebagai dasar keyakinan. Menurutnya, mengatakan sesuatu halal tanpa pernah melihat dokumen atau sertifikat resmi adalah bentuk kekeliruan besar. Bahkan bisa terjebak pada “berbohong kepada Allah” karena menetapkan status halal tanpa dasar.
Halal Bukan Sekadar Asumsi
Pernyataan tersebut seolah menyentil kebiasaan sebagian orang yang terlalu cepat mengambil kesimpulan. Misalnya, seseorang menyatakan, “Tenang saja, ini halal kok!” padahal tidak pernah melihat dokumennya, tidak tahu proses produksinya, dan tidak memastikan keabsahan sertifikatnya. Keyakinan seperti ini, kata Ali Fauzan, bukanlah keyakinan yang lahir dari bukti, melainkan dari asumsi yang rapuh.
Di sinilah letak persoalan besar kita hari ini. Budaya instan membuat sebagian orang mudah puas dengan klaim sepihak. Asal ada tulisan “halal” di kemasan, dianggap sudah cukup. Padahal, pertanyaannya: apakah label itu resmi dari lembaga berwenang atau sekadar tempelan buatan produsen? Apakah sertifikatnya masih berlaku atau justru sudah kedaluwarsa?
Keyakinan tanpa data inilah yang dikritik keras. Karena sejatinya, halal tidak hanya perkara rasa percaya, melainkan perkara tanggung jawab. Ketika seseorang mengatakan “ini halal”, maka ia sedang memposisikan dirinya seakan-akan memberi kesaksian atas nama Allah. Bayangkan betapa beratnya konsekuensi ucapan tersebut.
Era Data dan Transparansi
Kritik tersebut sejalan dengan era kita hari ini: era data. Dalam dunia yang serba terdigitalisasi, akses informasi seharusnya semakin mudah. Sertifikat halal dapat ditelusuri, diperiksa, bahkan diverifikasi langsung melalui platform resmi Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) atau lembaga terkait.
Di sinilah peran masyarakat sebagai konsumen diuji. Apakah kita mau mengambil sedikit waktu untuk memverifikasi kebenaran suatu klaim, ataukah kita lebih suka percaya begitu saja karena alasan praktis?
Ada semacam paradoks menarik di masyarakat kita. Untuk hal-hal duniawi, kita sering begitu detail, misalnya saat membeli ponsel, kita cek spesifikasi lengkap, garansi, bahkan membandingkan harga di banyak toko.
Tapi untuk urusan halal-haram, yang menyangkut keyakinan agama, kita sering terlalu longgar. Cukup dengan mendengar ucapan “ini halal kok” dari teman atau pedagang, kita langsung percaya tanpa verifikasi lebih lanjut.
Bukankah seharusnya justru sebaliknya?
Halal Sebagai Kepercayaan Kolektif
Jika ditarik lebih jauh, halal bukan hanya urusan individu, melainkan juga urusan sosial dan kolektif. Sertifikat halal adalah bentuk kontrak sosial yang memfasilitasi kepercayaan antara produsen dan konsumen. Tanpa sistem sertifikasi yang jelas, kepercayaan itu akan runtuh, dan industri halal akan kehilangan legitimasinya.
Kita bisa melihat contohnya pada industri makanan cepat saji. Sebuah restoran besar bisa saja mengklaim halal, tetapi konsumen Muslim tentu akan menuntut bukti resmi berupa sertifikat. Tanpa itu, jangankan membeli, sebagian besar konsumen bahkan tidak akan melirik.
Hal ini menunjukkan bahwa halal sejatinya adalah instrumen kepercayaan publik. Produsen tidak bisa hanya bermain di level klaim, melainkan harus menghadirkan dokumen resmi. Sebaliknya, konsumen juga tidak boleh hanya puas dengan klaim verbal, melainkan harus berani menuntut bukti.
Bahaya “Keyakinan Kosong”
Ali Fauzan menyebut bahwa keyakinan tanpa bukti ibarat “konyol” dan bahkan bisa menjurus kepada dusta kepada Allah. Kata-kata keras ini sebenarnya mengandung peringatan serius.
Ketika kita sembarangan menyatakan sesuatu halal padahal tidak memiliki bukti, kita sedang bermain di wilayah sakral. Halal bukan sekadar status hukum, melainkan juga bagian dari ibadah. Jika salah, konsekuensinya bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Inilah yang saya sebut sebagai bahaya “keyakinan kosong”. Keyakinan yang tidak berakar pada data, dokumen, atau sertifikat. Keyakinan yang dibangun hanya karena ikut-ikutan, asumsi pribadi, atau bahkan sekadar rasa percaya pada pedagang yang ramah.
Padahal, Islam sejak awal menekankan pentingnya bukti dan saksi. Tidak boleh ada klaim tanpa dasar. Dalam konteks halal, bukti itu berbentuk sertifikat resmi yang diverifikasi lembaga berwenang.
Antara Formalitas dan Substansi
Sebagian orang mungkin berargumen, “Ah, buat apa repot-repot. Yang penting niatnya baik.” Argumen ini terdengar bijak, tapi bisa berbahaya jika dipahami secara sempit. Sertifikat halal bukanlah sekadar formalitas, melainkan jaminan bahwa suatu produk benar-benar melalui proses pemeriksaan yang ketat: dari bahan baku, proses produksi, hingga distribusi.
Tanpa sertifikat, bagaimana kita bisa yakin bahwa daging yang kita makan tidak bercampur dengan bahan haram? Bagaimana kita tahu bahwa obat atau kosmetik yang kita gunakan tidak mengandung unsur najis?
Di sinilah pentingnya membedakan antara niat baik dan prosedur yang benar. Niat baik memang penting, tetapi tidak cukup. Islam mengajarkan bahwa amal baik harus dilakukan dengan ikhlas sekaligus sesuai aturan. Dalam konteks halal, ikhlas saja tidak cukup, harus ada bukti nyata yang mendukung.
Menuju Budaya Verifikasi
Apa yang dikemukakan oleh Ali Fauzan sebenarnya bisa dijadikan momentum untuk membangun budaya baru di masyarakat kita: budaya verifikasi.
Budaya ini menuntut kita untuk tidak puas hanya dengan klaim, melainkan berani menuntut bukti. Kalau membeli produk makanan atau minuman, cek sertifikat halalnya. Kalau membeli kosmetik, pastikan ada label halal resmi. Bahkan jika menghadiri jamuan makan, kita berhak bertanya apakah makanan tersebut memiliki jaminan halal.
Memang, bertanya kadang membuat kita dianggap ribet. Tapi keribetan kecil ini justru adalah bentuk tanggung jawab. Karena lebih baik dianggap ribet di dunia daripada menanggung risiko besar di akhirat.
Halal sebagai Cermin Integritas
Akhirnya, isu halal bukan hanya soal konsumsi, melainkan juga soal integritas. Produsen yang jujur tentu akan transparan menunjukkan dokumen halal produknya. Konsumen yang cerdas akan kritis menuntut bukti, bukan hanya puas dengan kata-kata manis.
Ketika dua pihak ini bertemu, produsen yang jujur dan konsumen yang kritis, maka industri halal akan berkembang sehat. Sebaliknya, jika produsen bermain-main dengan klaim palsu dan konsumen malas verifikasi, maka pasar akan dipenuhi oleh “keyakinan kosong” yang rapuh.
Di titik inilah, pandangan seperti yang disampaikan Ali Fauzan menjadi relevan. Ia mengingatkan kita semua agar berhati-hati dalam menyatakan halal, agar tidak terjebak pada kebohongan terhadap Allah. Sebuah peringatan yang mungkin terdengar keras, tetapi justru itulah yang kita butuhkan di tengah budaya serba instan ini.
Penutup
Keyakinan halal sejatinya bukan sesuatu yang lahir dari asumsi, melainkan dari bukti. Sertifikat halal adalah instrumen penting yang menjembatani kepercayaan antara produsen dan konsumen. Tanpa itu, halal hanya akan menjadi klaim kosong yang rapuh.
Kini, tantangannya ada pada kita: apakah mau membangun budaya verifikasi, atau tetap puas dengan keyakinan kosong? Pilihannya jelas, dan konsekuensinya tidak main-main.
Seperti ditegaskan Ali Fauzan, keyakinan itu harus berdasar pada data dan informasi. Sebab, dalam urusan halal, tidak ada ruang untuk bermain-main. Karena halal bukan sekadar label, melainkan amanah yang langsung bersentuhan dengan nama Allah.