Kemerdekaan yang Dilindas: Ketika Demokrasi Mati di Tangan Aparat

Bulan Agustus seharusnya menjadi waktu untuk merayakan kemerdekaan, di mana setiap warga negara merasakan kebebasan dan keadilan yang diperjuangkan. Namun, bagi sebagian rakyat, kemerdekaan itu terasa hampa.

Kasus yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, menjadi cerminan nyata dari ironi ini. Affan meninggal dunia pada 28 Agustus 2025 setelah ia ditabrak dan dilindas oleh kendaraan taktis Barakuda milik Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda Metro Jaya saat unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat.

Peristiwa tragis ini tidak hanya melukai fisiknya, tetapi juga melukai rasa keadilan seluruh masyarakat, hingga memicu unjuk rasa yang lebih besar di berbagai tempat di Indonesia, dan mendapat perhatian luas dari publik.

Brimob adalah salah satu unit kepolisian elit yang seharusnya bertugas sebagai pasukan paramiliter, mengamankan situasi kritis seperti penanggulangan kerusuhan hingga aksi terorisme. Tugas mereka adalah melindungi rakyat, bukan menindas dan MELINDAS.

Namun, insiden seperti yang dialami Affan menunjukkan adanya penyimpangan serius dari tugas mulia tersebut. Ketika aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi ancaman, lantas kepada siapa lagi rakyat harus mencari perlindungan?

Peristiwa ini juga menyoroti pentingnya peran Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam). Propam adalah “polisi internal” yang bertugas mengawasi dan menindak anggota kepolisian yang melanggar kode etik dan disiplin. Keberadaan Propam menjadi benteng terakhir untuk menjaga integritas institusi Polri. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah Propam telah bekerja secara efektif? Penanganan kasus ini akan menjadi ujian kredibilitas bagi Propam. Publik menuntut penegakan hukum yang transparan dan tidak pandang bulu.

Kekerasan yang dilakukan oknum Brimob ini meskipun telah terbukti melanggar kode etik profesi kepolisian, oknum tersebut juga dapat dijerat dengan beberapa pasal pidana, seperti Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan yang mengakibatkan meninggal dunia, dan Pasal 338 tentang Pembunuhan, yang bisa berujung pada penurunan pangkat, pemberhentian tidak hormat (PTDH), hingga hukuman penjara. Hukuman ini tidak hanya harus dijatuhkan, tetapi juga harus menjadi pesan tegas bahwa tidak ada ruang bagi kesewenang-wenangan aparat.

Kasus ini lantas menggiring kita pada sebuah pertanyaan yang menyakitkan: sebobrok inikah demokrasi kita? Demokrasi seharusnya menjamin kesetaraan di depan hukum, di mana kekuasaan tidak digunakan untuk menindas yang lemah. Namun, ketika rakyat kecil harus berhadapan dengan arogansi kekuasaan, nilai-nilai demokrasi itu tampak seperti utopia (hanya sebuah bayangan dan khayalan).

Peristiwa ini menjadi pengingat pahit bahwa perjuangan menuju demokrasi yang seutuhnya masih panjang dan penuh tantangan. Kemerdekaan sejati adalah ketika setiap warga negara, tanpa terkecuali, merasa aman dan dilindungi, bukan ditakuti.

Penulis: Muhammad Royhan Assaiq

Mahasiswa Program Magister Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *