Generasi Z dan Nasib Bahasa Indonesia

Seiring perkembangan zaman, jumlah orang yang menggunakan bahasa indonesia mengalami pengurangan. hal tersebut diakibatkan banyaknya generasi muda yang mengubah bahasa menjadi bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh komunitas tertentu semata, munculnya modifikasi bahasa atau disebut bahasa gaul (prokem, slang) tentunya memberikan dampak negatif terhadap keberlangsungan bahasa indonesia yang baku.

Salah satu penyebab munculnya kosakata baru dalam bahasa gaul, yaitu intensitas penggunaan media sosial yang banyak menghadirkan istilah-istilah baru dalam bahasa sehari-hari. Dinamika tersebut seakan-akan memperlihatkan bahasa gaul dengan begitu mudah mengalihkan tata bahasa Indonesia yang baik dan benar, belum lagi bahasa serapan yang merupakan dampak dari proses globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi di Indonesia dan kurangnya kepercayaan diri bangsa sehingga lebih cenderung menggunakan serapan bahasa luar dibandingkan dengan memperkaya tata bahasa yang telah ada.

Bahasa sejatinya menjadi bagian dari indentitas budaya pada masyarakat, namun saat ini sedang terjadi suatu kompleksitas tersendiri, hal tersebut dapat dilihat dari maraknya para remaja yang menggunakan istilah dari luar untuk memahami sesuatu seperti “kepo” (Knowing Every Particular Object) yang digunakan untuk orang-orang yang selalu ingin mengetahui terkait suatu hal, dan “nolep” yang berasal dari kata dan (no life) yang selalu diidentikkan dengan orang-orang yang antisosial.

Begitu juga singkatan dan penghilangan artikulasi dari bahasa Indonesia seperti “Japri” (jaringan pribadi/ jalur pribadi)  untuk melakukan komunikasi khusus, begitu juga kata “Anjir, Anjay, Bjir, Jir”  diambil dari kata (Anjing) yang selama ini diidentikkan dengan perkataan kasar dan penghinaan kini telah mengalami pemaknaan berbeda sebagai kata imbuhan dan candaan dalam pergaluan generasi muda saat ini.

Dialek berbeda satu sama lain pada sejumlah tingkatan linguistik: dari kata-kata yang digunakan orang hingga cara pengucapannya, dan pola tata bahasa apa yang diikuti. Contohnya adalah apakah suatu kelompok menggunakan frasa, “Saya tidak butuh apa-apa.” Dialek selalu melacak keanggotaan dalam kelompok sosial, atau subkomunitas, tetapi secara tradisional dialek berlabuh secara geografis.

Dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan seseorang berbicara satu sama lain lintas batas wilayah, pengguna bahasa kini secara teratur terpapar pada berbagai dialek yang berbeda dan dapat mengatur penggunaan bahasa mereka sendiri agar tampak seolah-olah mereka adalah anggota kelompok sosial yang berbeda. Namun, karena perkembangan internet , dan khususnya platform media sosial seperti Twitter dan TikTok, bahasa tiba-tiba dihadapkan pada berbagai variasi yang belum pernah ada sebelumnya.

Setiap ada inovasi bahasa baru, terutama jika bahasa tersebut diungkapkan oleh seseorang yang memiliki pengaruh sosial yang besar, tentunya dapat tersebar ke seluruh dunia dengan cepat. Sementara generasi baru selalu menggunakan bahasa gaul untuk membedakan diri dari generasi sebelumnya, penggunaan bahasa gaul Gen Z tampaknya berbeda secara kuantitatif, jumlahnya jauh lebih banyak serta siklus hidup istilah bahasa gaul Gen Z tampak jauh lebih singkat daripada rekan-rekan mereka dari Gen X atau Boomer.

Gambaran tersebut memperlihatkan bagaimana eksistensi bahasa Indonesia tengah dihadapkan pada suatu problematika besar, di satu sisi dianggap sebagai konsekuensi dari globalisasi sedangkan di sisi lain dianggap sebagai penyimpangan yang menghambat perkembangan bahasa Indonesia. Semua itu disebabkan rendahnya kesadaran generasi muda terhadap pelestarian bahasa Indonesia itu sendiri. oleh karena itu diperlukan suatu gerakan generasi muda untuk menghidupkan dan melestarikan kecintaan terhadap bahasa Indonesia.

Penulis: Baidhun Maknun
Mahasiswa UNY Prodi Bahasa Prancis Angkatan 2022 – Sekretaris IKPM Ogan Ilir Yogyakarta (Email: baidhunmaknun119@gmail.com)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *