Demonstrasi Anarkis Dan Arogansi Aparat: Salah Siapa?
Demonstrasi yang berujung maut pada Affan Kurniawan seharusnya menjadi renungan bagi pemerintah maupun rakyat. Tentu, arogansi aparat memicu emosi yang meledak-ledak. Namun, apakah amarah itu dapat dibenarkan jika dilampiaskan dengan merusak fasilitas umum yang justru merugikan masyarakat lain? Jika demikian, di manakah batas antara perjuangan menuntut keadilan dengan tindakan anarkis? Ketika perjuangan mencari keadilan berbalik merusak apa yang seharusnya dilindungi, siapa sebenarnya yang menanggung kerugian terbesar?
Ini adalah dilema yang harus kita hadapi. Perusakan fasilitas umum tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga melukai hati banyak orang. Masyarakat yang tidak terlibat dalam unjuk rasa menjadi korban tidak langsung. Mereka kehilangan akses transportasi, aktivitasnya terhambat, dan harus menanggung biaya perbaikan yang pada akhirnya diambil dari pajak kita sendiri. Tindakan anarkis semacam ini juga menggerus simpati publik. Awalnya, perjuangan rakyat mendapatkan dukungan luas karena narasi mereka kuat: menuntut keadilan bagi seorang pengemudi ojek online yang tewas. Namun, ketika narasi itu tercemari oleh anarkisme, masyarakat yang tadinya bersimpati bisa berbalik menentang.
Selain perusakan fasilitas publik, aksi perusakan dan pembakaran aset kepolisian di daerah lain, seperti di Mapolda DIY pada 29 Agustus 2025, juga perlu direnungkan. Tindakan ini memang menyasar langsung pada institusi yang dianggap bertanggung jawab, tetapi apakah ini cara yang tepat untuk menuntut keadilan? Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan akan menciptakan lingkaran setan di mana kekerasan dibalas dengan kekerasan. Aksi ini justru dapat memberikan amunisi bagi aparat untuk menindak massa secara lebih represif, mengaburkan tujuan utama demonstrasi, dan menjauhkan kita dari solusi yang damai dan konstruktif. Peristiwa ini juga memiliki dampak nyata, seperti lumpuhnya akses transportasi di Jalan Ring Road Utara Yogyakarta, yang merugikan ribuan warga yang tak bersalah.
Pada akhirnya, kita harus bertanya: apakah tujuan menghalalkan cara? Jika perjuangan menuntut keadilan dilakukan dengan cara yang tidak adil kepada masyarakat lain, maka kita telah kalah bahkan sebelum pertarungan dimulai. Kita harus belajar untuk mengendalikan emosi dan tetap fokus pada tujuan utama: menuntut akuntabilitas dari aparat dan reformasi institusi. Keadilan harus diperjuangkan dengan cara yang bermartabat, bukan dengan merusak. Karena, kerusakan fisik bisa diperbaiki, tetapi kepercayaan publik yang hancur akan sangat sulit untuk dibangun kembali.
Namun, tidak adil jika kita hanya menyalahkan rakyat. Akar masalah dari demonstrasi ini juga harus berbenah. Arogansi aparat tidak terjadi di ruang hampa; ia sering kali tumbuh dari ketidakmampuan pemerintah untuk mendengar dan bertindak. DPR yang menjadi sasaran utama demonstrasi, misalnya, seolah menutup mata dan telinga dari tuntutan rakyat. RUU Perampasan Aset yang seharusnya menjadi alat untuk menindak koruptor tak kunjung disahkan, sementara rakyat terus menderita. Tindakan DPR yang lamban dan terkesan tidak peduli memicu frustrasi massal yang akhirnya tumpah di jalanan.
Jika pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat tidak segera berbenah dan menunjukkan keberpihakan pada keadilan, maka gelombang demonstrasi akan terus terjadi. Masyarakat bukan kambing hitam yang bisa disalahkan begitu saja. Mereka adalah korban dari sebuah sistem yang gagal memberikan rasa aman dan keadilan. Keadilan sejati tidak hanya berarti menindak pelaku arogansi, tetapi juga memperbaiki sistem yang memungkinkannya terjadi.
Penulis: Muhammad Royhan Assaiq
Mahasiswa Program Magister Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta