Demokrasi Indonesia di Persimpangan: Suara Rakyat atau Kepentingan Elite ?

Setiap 15 September, dunia memperingati Hari Demokrasi Internasional, sebuah momentum penting untuk mengingatkan kembali nilai-nilai dasar demokrasi. Demokrasi bukan sekadar urusan teknis tentang pemilu atau memilih pemimpin lima tahun sekali. Demokrasi adalah jantung kehidupan politik yang seharusnya memberi ruang bagi dialog, menjamin keadilan, serta melindungi suara rakyat dari intervensi kepentingan yang merugikan.

Realitas di Indonesia hari ini menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang menghadapi ujian besar. Di satu sisi, rakyat masih menaruh harapan tinggi pada sistem demokrasi. Mereka percaya bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik dibanding sistem lain.

Di sisi lain, demokrasi semakin terasa dikendalikan oleh kepentingan elite, baik politik maupun ekonomi. Pertanyaannya, apakah suara rakyat masih sungguh menjadi pusat demokrasi kita, atau justru semakin dipinggirkan?

Demokrasi yang Disukai, Tapi Kepercayaan pada Lembaga Mulai Menipis

Hasil survei menunjukkan masyarakat Indonesia sebenarnya masih menyukai sistem demokrasi. Menurut survei Indikator Politik Indonesia pada April 2022, 77,2% publik menyatakan percaya pada demokrasi, angka ini cukup tinggi dan bahkan meningkat dibanding periode sebelumnya. Fakta ini membuktikan bahwa rakyat tidak ingin kembali pada sistem otoriter yang menutup ruang partisipasi.

Namun, ada paradoks di balik optimisme ini. Kepercayaan terhadap demokrasi sebagai sistem ternyata tidak berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi. Lembaga legislatif seperti DPR hanya mendapat tingkat kepercayaan publik sekitar 69%, dan partai politik berada di kisaran 65–66%. Angka ini jauh di bawah lembaga lain, seperti TNI yang memperoleh kepercayaan hingga 93%, atau presiden dengan angka 85%.

Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih menganggap demokrasi sebagai sebuah cita-cita yang ideal, tetapi mereka kecewa dengan implementasi demokrasi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga politik. Ketidakpuasan ini wajar, sebab sering kali DPR lebih disorot karena kontroversi kebijakan dan fasilitas anggota parlemen yang berlebihan, ketimbang menunjukkan kinerja yang nyata membela rakyat.

Kebebasan Berpendapat dan Pers: Indikator Demokrasi yang Mulai Rapuh

Salah satu pilar utama demokrasi adalah kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Namun, indikator ini justru semakin menunjukkan tanda-tanda rapuh.

Harapan sempat muncul pada 2025 ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pasal “menyerang kehormatan” dalam UU ITE hanya dapat digunakan oleh individu pribadi. Artinya, institusi atau korporasi tidak lagi bisa menjadikan pasal itu sebagai alat untuk mempidanakan kritik. Putusan ini disambut positif karena dianggap mampu mempersempit peluang kriminalisasi terhadap aktivis atau jurnalis.

Sayangnya, di lapangan, ancaman terhadap kebebasan berpendapat tetap nyata. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melaporkan bahwa 75,1% jurnalis pernah mengalami kekerasan, baik fisik maupun digital. Indeks Kebebasan Pers dari Reporters Without Borders (RSF) menempatkan Indonesia pada posisi ke-111 dari 180 negara dengan skor 51,15 pada tahun 2024, sebuah peringatan bahwa pers di Indonesia masuk kategori “sulit”. Bahkan, Indeks Kemerdekaan Pers Nasional dari Dewan Pers juga menurun, hanya mencapai 69,36, yang meski tergolong “cukup bebas”, menunjukkan adanya kemunduran dibanding tahun sebelumnya.

Kondisi ini menegaskan bahwa meski ada upaya hukum untuk memperkuat perlindungan terhadap kebebasan berpendapat, secara praktik demokrasi kita masih belum ramah terhadap kritik dan suara-suara yang berbeda.

Kekerasan atas Aspirasi dan Regulasi yang Membatasi

Demokrasi juga diuji ketika rakyat menyampaikan ketidakpuasan mereka lewat aksi unjuk rasa. Seharusnya, protes dilihat sebagai bagian sah dari kehidupan demokrasi. Namun kenyataannya, protes rakyat masih sering dihadapi dengan tindakan represif.

Amnesty International mencatat pada tahun 2024 saja ada setidaknya 344 orang ditangkap saat berunjuk rasa, 152 orang luka-luka, dan 17 orang terkena dampak gas air mata. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi potret nyata bagaimana kebebasan berkumpul sering kali terbentur oleh respons aparat.

UU ITE, meski sudah direvisi, tetap menyimpan celah besar. Pasal-pasal multitafsir masih bisa digunakan oleh pihak berkuasa untuk membungkam kritik. Inilah yang membuat banyak aktivis menilai bahwa demokrasi kita masih bertumpu pada kerangka hukum yang tidak sepenuhnya melindungi rakyat. Regulasi yang seharusnya menjadi pagar demokrasi justru sering terasa sebagai jerat yang membatasi kebebasan.

Kesenjangan Antara Suara Rakyat dan Kepentingan Elite

Kritik terbesar terhadap demokrasi Indonesia adalah munculnya kesenjangan antara apa yang diinginkan rakyat dengan apa yang dilakukan elite politik. Ketika rakyat berjuang menghadapi kenaikan harga bahan pokok, inflasi, dan biaya hidup yang semakin tinggi, perhatian publik justru tersedot pada isu-isu yang berhubungan dengan kenyamanan pejabat, seperti tunjangan atau fasilitas mewah.

Partai politik, yang seharusnya menjadi corong aspirasi rakyat, sering kali terjebak dalam pragmatisme politik jangka pendek. Alih-alih memperjuangkan agenda rakyat, mereka lebih sibuk mengurus koalisi, kursi kekuasaan, dan kepentingan kelompoknya. Tidak heran bila DPR kerap dianggap hanya menjadi “tukang stempel” kebijakan pemerintah, bukan lembaga pengawas yang efektif.

Kesenjangan ini berbahaya, sebab jika dibiarkan berlarut-larut, bisa menimbulkan apatisme rakyat terhadap demokrasi. Demokrasi kehilangan maknanya bila rakyat merasa tidak lagi didengar.

Demokrasi sebagai Tanggung Jawab Bersama

Dengan segala tantangan ini, penting untuk menegaskan bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang selesai, melainkan proses yang harus dirawat setiap saat. Demokrasi bukan hanya tugas pemerintah atau partai politik, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa.

Pemerintah harus memastikan regulasi tidak digunakan untuk membungkam kritik, melainkan untuk melindungi hak-hak dasar warga. Aparat keamanan perlu mengubah paradigma, bahwa unjuk rasa bukan ancaman, melainkan bagian dari demokrasi yang sehat. Media dan organisasi masyarakat sipil juga perlu terus mengedukasi publik, agar rakyat memahami hak-haknya serta berani bersuara dengan cara yang konstruktif.

Yang tidak kalah penting, masyarakat sendiri harus aktif terlibat, tidak hanya pada saat pemilu, tetapi juga dalam mengawasi jalannya pemerintahan sehari-hari. Demokrasi hanya akan kuat jika rakyatnya kritis, partisipatif, dan berani menyuarakan kebenaran.

Memaknai Hari Demokrasi Internasional

Hari Demokrasi Internasional seharusnya menjadi cermin bagi bangsa Indonesia. Apakah kita ingin demokrasi hanya berhenti pada ritual pemilu lima tahunan, ataukah kita ingin membangun demokrasi yang hidup setiap hari dalam praktik pemerintahan yang transparan, kebijakan yang berpihak pada rakyat, dan ruang publik yang terbuka untuk kritik?

Selama rakyat masih dihantui rasa takut saat mengkritik, selama jurnalis masih rentan terhadap kekerasan, dan selama suara rakyat masih kalah oleh suara elite, demokrasi kita belum mencapai tempat yang seharusnya.

Mari jadikan momen ini sebagai ajakan untuk bersama-sama memperkuat demokrasi. Demokrasi bukan milik elite, melainkan milik seluruh rakyat. Hanya dengan demokrasi yang berpihak pada rakyat, Indonesia bisa benar-benar menjadi rumah yang adil, aman, dan sejahtera bagi semua.

Penulis:
Januariansyah Arfaizar
Dosen STAI Yogyakarta – Ketua IKN Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *